Kacamata
Di luar kelas hujan masih mengguyur bumi, tapi apa yang Wulan rasakan ternyata berbanding 180 derajat. Soal-soal ulangan di papan tulis membuat semua peluh membanjiri tubuh mungilnya. Ia tak dapat melihat apa yamg ada di sana.
“Assalamualaikum”suara salam gadis itu membahana dengan semangat yang di paksakan.
“Wa’alaikumsalam, sudah pulang nduk! Shalat dulu sana, terus jangan lupa makan. Habis makan tolong anterin keripik ke rumahnya Mbok Minah ya”
“Iya Bu”jawab Wulan dengan senyuman yang oleh ibunya terlihat aneh karena sedikit dipaksakan.
Selesai shalat dan makan gadis berlesung pipit itu melaksanakan apa yang dikomandokan ibunya. Jarak 3 kilometer ditempuhnya denan sepeda reyot yang telah berubah warnanya dari hitam menjadi keabu-abuan. Langit di atas sana sepertinya hampir memuntahkan bebannya. Dikayuhnya sepeda itu lebih cepat. Sebagai anak yang lahir dari keluarga yang dapat dikatakan serba kekurangan. Betapa pahamnya ia akan berharganya nilai rupiah keripik yang ada dalam tas plastik hitam yang sedang dibawanya itu walaupun hanya dapat ditukarkan dengan lima ratus rupiah per buah. Kekhawatiran akan segera turunnya hujan ternyata juga ditemanai akan kekhawatiran terhadap dua indra penglihatannya yang tidak lagi berfungsi seperti biasa.
“Prang!!!” Ternyata suara itu bukan jatuh dari tangan seorang anak kecil tapi dari gadis berumur tujuh belas tahun. Dan piring itu bukan menjadi korban pertama kegalauannya. Masih terbayang siang hari tadi di sekolah saat Pak Cahyo mengumumkan hasil ulangan kimia. Sepertinya bumi akan menindihnya ketika ia tahu telah mendapat nilai terburuk di kelasnya. Teman-temannya pun tak kalah terkejut mengetahui bintang kelas mereka itu mendapat nilai 45 dalam ulangan.
Didengarnya semua wejangan-wejangan dari ibunya. Dihentikannya pekerjaan mencuci piring itu, dan ia menuju sebuah ruangan berukuran 3x4 meter. Dibukanya salah satu buku dan ia mencoba mengais-ngais semangat sedapatnya. Tapi keganjilan itu kembali datang, semua huruf-huruf di dalamnya kabur.
“Mbak Wulan, soal yang ini caranya gimana mbak?”Amy, adiknya datang dengan dahi yang sedikit terkerut.
“Yang mana Mi?”ternyata Wulan belum menyadari perubahan pada dirinya. Benarlah beberapa detik kemudian ia tersadar akan matanya yang tidak lagi dapat berfungsi normal.
“Aduh, tolong bacakan soalnya saja ya Mi!” Dibukanya dua mata bulat itu selebar-lebarnya berharap keajaiban datang agar tulisan di depannya itu dapat terbaca. Dan kegalauan itu ditutupnya rapat-rapat agar adik dan keluarganya tidak tahu apa yang terjadi padanya.
Pulang. Ya, hanya itu yang diinginkan Wulan sekarang. Semua mata pelajaran benar-benar tidak dapat masuk ke otak yang menurut teman-temannya brilian. Betapa inginnya ia menyalahkan matanya yang tidak lagi dapat berkompromi. Semua penglihatannya samar. Rita, gadis yang sekarang duduk disampingnya itulah yang pertama mengetahui perubahan pada teman dekatnya.
Hari berganti dengan kelabu. Ditatapnya mata jernih yang telah berubah lewat cermin. Ia pandang terus semakin dalam. “Apa yang terjadi denagn mataku?”.Ucapnya lirih diiringi muara air mata yang hangat meleleh.
“Kreeek!”.Deritan pintu di kamarnya mengisyaratkan ada yang memasukinya. Segera ia membalikan badan membelakangi pintu dan berpura-pura merapikan buku dari tasnya. Diuspanya air mata dengan lengan tangan kanannya.
“Mbak Wulan disuruh makan sama Bapak” Ami lah pemilik suara nyaring itu.
“ Iya Mi, sebentar lagi mbak nyusul” bergegaslah ia mdenghapus air mata dan kekhawatirannya. Dikembangkannya sebuah senyum percobaan di depan cermin sebelum meninggalkan kamar.
Suatu siang saat istirahat tiba.
“ Kamu kenapa sih Lan? Sudah dua kali ini ditegur Pak Cahyo”. Seorang temannya bertanya dengan kekhawatiran.
“ Aku juga tidak tahu Rit, aku sendiri juga bingung”. Sekenanya yang ditanya menjawab.
“Kita berteman sudah lama Lan, nggak ada salahnya kita berbagi kan?” Masih dengan kekhawatiran seorang teman baiknya itu bertanya.
“Yah, kamu benar”. Wulan ternyata tidak ingin menanggapi pertanyaan Rita
“Jadi….?”
“Jadi apanya?”
“ Ya jadi kamu kenapa?”
Bel masuk berbunyi, memaksa mereka mengakhiri pembicaraan itu, dan ini sangat menguntungakn bagi Wulan.
“Entah lah Rit. Maaf aku belum bisa cerita sekarang”. Sedikit rasa kecewa pada temannya itu di kubur saja dalam-dalam berusah mngerti bahwa Wulan sedang memiliki masalah yang belum boleh di ketahuinya.
Seorang laki-laki paruh baya memasuki kelas yang berada di ujung lapanagn SMAN 42 Semarang. Postur tubuh yang lumayan besar dan kumis yang tidak dapat dikatakan tipis sebagai ciri utamanya itu adalah seorang guru matematika. Setelah mejawab salam dari anak-anak didiknya itu melangkahlah ia ke depan kelas.
“ Anak-anak, beberapa bulan lagi akan diadakan lomba matematika karena itu sekolah telah menunjuk beberapa perwakilan untuk mengikuti seleksi yang nantinya siapaun yang palng unggul akan mewakili sekolah”Pak Wiratman berhenti beberapa detik untuk menarik nafas.
“Wulan!” guru itu meneruskan ucapannya
“Kamu salah satunya” Lanjutnya. Seluruh kelas bergemuruh dan serentak bertepuk tangan tanpa komando. Sedangkan sosok yang tengah menjadi pusat perhatian itu sedikit terkejut dan merasa senang pada saat itu juga. Tapi seketika suara tepuk tangan teman-temannya itu berbalik menjadi neraka.
“Mataku… bagaimana aku dapat mengerjakan soal denagn kondisi mataku sekarang ini? Bagaiman ini? Aku hanya akan membuat teman-teman ku kecewa…”. Semua pertanyaan dan ketakutannya bercampur. Ditariknya ujung kanan dan kiri mulutnya dan terus ia perlihatkan bahagia di depan tennya, bahagia penuh kegetiran.
Dijatuhkannya tubuh dan semua kelelahan di atas tempat tidur. Ingin rasanya menjerit melepas semua ketakutan yang terjadi pada matanya. Berfikirlah ia seandainya saat ini matanya normal tentu ia akan sangAt gembira dengan kesempatan yang telah didapatkannya itu. Bendungan dalam kelopak matanya jebol seiring dengan mengalirnya air mata.
Embun masih betah bertengger di dedaunan depan rumahnya. Burung-burung ternyata tak menyukai hawa dingin seperti ini hingga tak terdenar suara merdu darinya. Membuka mata dengan senyum ternyata sudah tak lagi menjadi kebiasaan Wulan. Ayahnya sedang bersiap-siap menyipkan perkakas di bengkel sepeda milik tetangganya, disanalah laki-laki itu mencari nafkah untuk keluaraganya.Sedangkan ibu dan adiknya sedang mengepulkan asap di dapur.
Siang itu, di sekolah.
“Kenapa sih kamu nggak mau cerita Lan?”
“Cerita apa?”
“Ini….!” Selembar kertas putih dan tampak lusuh diserahkan pada Wulan. Sedangkan yang empunya hanya diam saja karena tak tahu harus berkata apa. Kertas itu sehari yang lalu ternyata menjadi pelampisan akan kekhawatiran pada matanya. Wulan lupa untuk membuang kertas itu yang ternyata masih berada di laci meja tempat duduk mereka.
“Yah.., maafin aku, aku nggak mau manjadi beban orang lain”
Pulang sekolah Rita langsung menggandeng Wulan. Dikerahkannya tenaga untuk memaksa Wulan mengikutinya. Setibanya di depan sebuah tempat yang mirip toko mereka berhenti. Tapi ternyata itu bukanlah sebuah toko, diatasnya tertulis “sight center”, sebuah tempat pemeriksaan mata.
Masih terngiang kejadian sejam yang lalu. Astigmatisma. Yah, itulah yang dikatan petugas “sight center”. Masih teringat bagaimana petugas itu mengatakan untuk segera berobat. Tak tahu lagi bagaimana ia harus menyampaikannya pada ibu dan keluaraganya. Tak mungukin. Kalaupun ia bercerita kepada mereka itu hanya akan menjadi beban .Kacamata! Yah itu adalah salah satu alternatifnya. Kepesimisan itu kembali datang. Dari mana ia berharap memiliki sebuah kacamata, sedangkan hasil bekeraja ayah dan menjual keripik hanya cukup untuk makan.
Seleksi perlombaan diadakan dua minggu lagi. Tapi Wulan benar-benar tak ingin mengikutinya. Sepulang sekolah nanti ia berencana untuk menyampaikan pengunduran dirinya pada Pak Wiratman.
“Tapi kenapa Wulan, kesempatan seperti ini sanagat diinginkan teman-temanmu yang lain”.Suara bapak berkumis itu meninggi.
“Maaf Pak, saya benar-benar tidak bisa Pak”. Menudukalah Wulan menahan kesediahan ini.
“Bapak sebenarnya yakin akan kemampuanmu, sangat disayangkan kamu bersikap seperti ini”
“Pak, apa boleh saya menyampaikan usul Pak?”
“Usul apa?”
“Rita”.
“Rita?” terheran-heranlah laki-laki itu akan nama yang disebutkan Wulan.
“Iya, Rita. Saya yakin Rita dapat membawa nama baik sekolah ini Pak”.
“Wulan…., untuk perlombaan, sekolah tidak mungkin asal dalam memilih murid sebagai wakilnya. Dan Rita, maaf Bapak masih meragukannya.”
“Tapi Pak, saya yakin Rita bisa Pak. Memang selama ini Rita belum dapat memperlihatkan prestasinya, tapi pernyalah Pak, Ia sebenarnya memiliki kemampuan”
“Baiklah Bapak beri kesempatan Dia untuk menunjukan prestasinya pada ulangan pekan depan, tapi kalaupun nanti saat seleksi dia tidak lolos, Bapak tidak dapat berbuat banyak”
“Iya Pak, tentu”.Keluarlah Wulan dari ruang guru. Dan tanpa disangka dari kejauhan Rita tengah menunggunya.
“Aku mengundurkan diri, aku nggak ikut lomba”.Tersimpan sedikit kesedihan di hatinya saat mengucapkan.
“Apa! Ya ampun Wulan, kamu beruntung banget bisa ikut seleksi, harusnya kamu senang, apa lagi kalau kamu bisa menang nanti kamu bisa dapat beasiswa, dan kamu bisa membeli kacamata
“Ya memang benar, aku senang, aku bangga, aku juga ingin memiliki kacamata tapi ingat Rit penglihatanku kabur, benar-benar sulit untuk sekedar membaca soal.”
Argumen itu berakhir dengan sebuah tangisan. Akhirnya Wulanpun menyampaikan apa yang ia usulkan pada Pak Wiratman. Betapa terkejutnya Rita. Tak mungkin ia mengikuti seleksi itu, kalaupun mengikuti sudah tentu ia tak akan lolos, begitu pikirnya.
“Tolonglah Rit, sekali ini saja, tak ada salahnya kan kita berusaha dahulu”. Tanpa lelah Wulan meyakinkan Rita. Perdebatan itupun berkhir dengan anggukan Rita penuh keraguan.
Hari-hari ini sangat berbeda bagi Rita. Sehari-harinya hanya ia lewatkan untuk belajar, hanya demi sahabatnya, Wulan. Tak sedikit dari teman-teman yang mengolok-olok dirinya saat mereka tahu ia mengikuti seleksi lomba matematika. Tapi Wulan selalu memberikan semangat dan dukungan hingga Rita bertekad untuk dapat memenangkan lomba itu. Bahkan, setiap malam ia datang ke rumah Wulan untuk meminta untuk mengajarinya. Wulanpun sangat senang melihat semangat sahabatnnya itu. Hasil dari kerja kerasnya ternyata memuaskan. Rita berhasil lolos dari seleksi dan menjadi salah seorang dari dua siswa yang mewakili sekolah mengikuti lomba. Kacamata. Harapan memiliki benda itu semakin dekat.
Rabu, satu bulan kemudian. Hari yang dinanti dan diharapkan akhirnya datang. Waktu sudah menunjukan pukul 07.30 WIB. Bebarapa guru dan teman Rita menunggunya di depan sekolah dengan cemas. Mengapa di hari penting ini Rita belum juga datang, seribu pertanyaan memenuhi otak Wulan. Diliriknya jam dinding berkali-kali. Khawatir ia bila terjadi sesuatu dan tentu saja khawatir karena peserta lomba harus datang sebelum pukul 08.00 WIB.
“Kita sudah menunggu lebih dari sejam Wulan!”
“Iya Pak, sebentar lagi pasti Rita datang”. Harapan itu masih terus mengalir.
Dari kejauhan tampak sebuah becak membawa sesosok gadis. Dialah Rita. Tersenyum Wulan melihatnya. Tapi tiba-tiba senyum itu berubah menjadi keharuan. Kaki kanan Rita dibalut, ia mengalami kecelakaan sebelum berangkat ke sekolah dan harus dibawa ke rumah sakit terlebih dahulu. Dipeluknya sahabat terbaiknya itu. Betapa salutnya ia akan semangat dan pengorbanan dari sahabatnya. Ucapan terima kasih dan doa pun di ucapakn dengan sesenggukan. Tak lagi peduli ia akan kemenagan ataupun kekalahn nantinya.
“Semua untuk kamu Wulan, untuk kacamata yang kau impikan”.Ujarnya sesaat sebelum mobil Pak Wiratman membawanya ke tempat perlombaan,membawa sesosok sahabat sejati,beribu pengorbanan dengan berjuta impian.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar