Rabu, 10 Juni 2009

hmmmm

kenapa..........kenapa.............

kenapa seperti ini semuaN.a :(

ternyata membuat cerpen melelahkan

Wait Again
Seperti biasa aku melangkah ringan begitu sampai di gerbang sekolah. Hari ini cuaca begitu cerah. Awal Juni ini telah kutunggu sejak lama. Kusapa beberapa temanku yang kebetulan berpapasan.
“Hei Mi, wah ceria banget nih!” sapa seorang temanku. Ternyat dia Sandi, temen baikku sejak SMP dulu.
“Iyalah San, akhirnya bulan Juni tiba juga. Tahu kan kamu kalau dari dulu aku nunggu bulan Juni ini”.
Kami berjalan beriringan menuju kelas, aku dan Sandi memang satu kelas. Terlintas dipikiranku, bulan Juni ini aku akan bertemu orang terkasih, Zhee. Betapa bahagianya aku tak lama lagi akan bertemu Zhee setelah setahun menunggu.
Penjelasan Pak Edi yang panjang lebar, ternyata tak mampu menghentikan lamunanku.Topik lamunan masuh seperti biasa, Zhee. Dia adalah pacarku selak SMP. Tapi karena dia harus ngelanjutin SMAnya di Jakarta, kami terpaksa long distance. Sejak perpisahan setahun yang lalu, kami sama sekali tidak saling berkomunikasi. Aneh memang. Zhee bilang kalau dia ingin aku bersekolah sungguh-sungguh tanpa memikirkan hubungan kami. Satu-satunya penghubung antara aku dan Zhee yaitu Sandi. Cowok itu yang selalu menyampaikan sms atau sekedar salam dari Zhee padaku. Kata zhee, agar saat kami bertemu tanggal 21 Juni besok, lebih surprise. Maka kuturuti saja apa katanya.
“ Emi, jangan ngelamun terus dong!!” teman sebelahku itu tiba-tiba menghancurkan lamunanku.
“ Eh, iya iya”.jawabku sekenanya.
****
Udara begitu panas. Masih kutunggu Sandi dengan setia yang sedang asyik main basket. Tadi malam, Zhee menelpon Sandi, makannya aku rela nunggu Sandi agar tahu apa yang Zhee katakan ditelpon.
“Sudah lama nunggu?”aku tersentak, dengan kedatangan Sandi yang tiba-tiba.
“Ya lumayan. Tadi malam Zhee ngomong apa, titip salam gak buat aku, tanggal 21 besok jadi kan?” tanyaku ingin segera mendapat jawabannya.
“Iya tapi pelan-pelan dong tanyanya! Tadi malem waktu Zhee telpon, dia ngasih puisi buat kamu, terus aku tulis. Nih puisinya!” jawabnya sambil menyerahkan secarik kertas.
“ tanks ya”. Segera kurebut kertas itu. Setengah berlari aku menuju gerbang sekolah agar cepat sampai rumah.
Sesampainya di rumah, aku segera masuk kamar. Beribu motif bintang menyambutku, begitu aku sampai di kamar. Mulai dari tempat tidur bergambar bintang, karpet motih bintang, bantal bentuk bintang, dan juga berbagai hiasan lainnya yang berhubungan dengan bintang. Semua karena Zhee, ia sangat menyukai bintang. Kubanting tubuhku di tempat tidur. Kubuka kertas pemberian Sandi di sekolah tadi.

Dalam hati menjerit menyebut namanya
Mata ini tak dapat tertahan ingin segera melihat wajah indahnya
Dan fikirku
Tak lagi bias terlepas memikirkan semua tentangnya
Sekarang aku tahu
Sekarng aku menyadari
Telah lama aku merindukanmu, bintangku,
Emy

“Zhee…..!!” Aku berteriak menyebut namanya,di balik bantal yang kututupkan pada mukaku. Ah, bahagianya kau membaca isi hatinya.
****
19 Juni 2008
Handphone yang sedari tadi menganggur kuambil. Aku menelepon Sandi, untuk membunuh waktu dalam kesepianku sedari tadi.
“Hallo San, lagi ngapain?” aku mulai membuka pembicaraan.
“Iya hallo juga Mi, lagi mikirin kamu nih, he he he”candanya
“ah kamu San bias aja, ada kabar terbaru gak dari Zhee?” tanyaku tanpa basa basi
“Ee Emi, kayaknya Zhee besok gak bakalan……!”
“Zhee gak bakaln apa, aku gak mau tahu pokoknya Zhee harus datang”emosiku meninggi, mendengar kata-kata Sandi
“Ta tapi Mi…” suara diseberang sana terdengar tak begitu jelas
Aku tak dapat lagi menjawabnya. Air mataku mulai membanjir. Apa iya Zhee bohong, Zhee ga datang. Sejuta pertanyaan berkecamuk di fikiranku.
“Emi kamu kenapa, kamu nangis ya?” aku tak menggubris pertanyaannya
“Dengerin dulu dong, tadi aku kan belum selesai ngomong. Aku mau bilang kalau Zhee gak bakalan bohong,dia pasti datang kok”. Jelasnya
Mataku berbinar. Senang sekali aku mendenarnya.
“Makasih ya San. Kamu kok baik banget si!” kuucapkan rasa terimakasih ku pada Sandi, sambil menghapus air mata yang terlanjur jatuh.
“Ya iya lah Mi, itu karna aku, aku…, aku kan sahabatnya Zhee, jadi aku harus baik juga sama ceweknya, iya kan?”
“Ah kamu gak berubah, masih suka ngeles terus”.
Setelah mentup telepon, aku segera bersiap tidur. Bersiap memimpikan Zhee nanti malam, dan dua hari berikutnya aku yakin pasti akan menjadi kenyataan.

Sabtu, 21 Juni 2008
Hari yang kutunggu, tiba. Sejak siang tadi aku mempersiapakn penampilan terbaikku untuk Zhee malam nanti. Aku ingin membuatnya lebih bahagia, begitu pikirku.
Di kursi paling ujung sebuah restoran, aku menunggu. Sengaja aku belum memesan apapun, hingga Zhee datang nanti. Satu jam berlalu. Udara di luar begitu dingin, sepertinya hujan akan segera turun.
“Zhee mana ya, kok belum datang juga ya?” pertanyaan yang hanya kulontarkan dalam hati itu mungkin yang keseratus kalinya kuucapakan. Namun, selalu kubuang perasaan cemasku, dengan mengenang hal-hal indah yang pernah aku dan Zhee alami bersama.
Jarum pendek pada arloji tanganku menunjuk angka sepuluh, tapi yang ditunggu tak juga menampakkan diri. Dalam kesendirianku menunggu, aku sebenarnya meraskan sesuatu yang aneh. Seseorang sepertinya mengintaiku. Tapi siapa??
“Maaf Mba, restoran kami akan segera ditutup”tiba-tiba seorang waiter datang.
“Sebentar ya, temenku belum datang, sebentar lagi pasti dia tiba”
“Maaf mba, tapi restoran kami harus ditutup jam 10 malam, jadi Mba bisa datang lagi lain hari saja.
Keyakinanku selama bertahun-tahun akhirnya mulai luntur. Sudah kutunggu ia lebih dari 2 jam. Akhirnya, aku harus keluar dari restoran. Aku kecewa. Tapi mungki,n rasa sayangku pada Zhee lebih besar dari pada kekecewaanku. Sesak sekali dadaku menahan tangis,kutekadkan hatiku untuk tetap menuggu Zhee.
Jalan didepan restoran mulai sepi. Mungkin hujan dan dingin telah berhasil membujuk mereka untuk tetap berada di rumah. Aku sayang kamu Zhee, aku akan tetap nunggu kamu, selalu kujeritkan kata-kata itu dalam hati. Di emperan restoran aku masih menunggu seorang Rezhee Pratama.Tapi aku terlalu lemah. Dan bendungan air matapun, akhirnya tumpah….
Tiba-tiba seseorang meraih pundakku. Aku terhenyak. Aku yakin itu Zhee. Kuputar tubuhku, sebelum akhirnya meneriakkan nama seorang yang sedari tadi kutunggu.
“Zhee…!!”harapku keluar, dari bibir yang sangat dingin terlapisi air hujan.
Betapa kecewanya aku, mengetahui orang di belakangku tak seperti yang kuharapkan. Dia bukan Zhee. Orang itu memendangku sayu, dipeluknya tubuhku dengan erat. Dia Sandi. Sandi yang memelukku, bukan Zhee.
“Cukup emi, cukup. Kamu jangn nunggu dia lagi, Zhee gak mungkin datang Mi!!”samar-samar aku mendengar suaranya yang tertelan deru hujan.
Tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Bumi berputar, dan rasanya tak ada lagi kehidupan bagiku

“Sayang, kamu kenapa? bangun saying…”.suara lembut itu terdengar berkali-kali di telingaku. Berkali-kali aku ingin membuka mataku, tapi rasanya begitu berat. Hingga akhirnya seraut wajah sendu,berlinang air mata terpampang di depanku. Ah, mama masih setia menungguku. Sebenarnya aku tak ingin membuka mataku untuk selamanya setelah Zhee berbohong padaku, tapi aku kasihan pada mama. Setahun yang lalu papa telah meninggalkan kami berdua, mana mungkin aku tega membiarkan mama hidup sebatang kara.
“Maaf ma, Emy lagi ingin sendiri Ma”. Jawabku singkat.
Kuterawang lngit-langit kamar. Banyak sekali bintang menghiasi seisi kamaraku. Teringat lagi semua yang terjadi tadi malam. Zhee membohongiku. Begitu juga Sandi, dia pasti juga berbohong padaku. Sekarang aku sudah tak ingin lagi bertemu mereka. Aku sama sekali tak ingin mengetahui mengapa mereka berbuat sejahat itu padaku.
****
Pagi yang cerah ini, aku akan kembali masuk sekolah setelah 4 hari tak berangkat. Aku akan memulai hari baruku tanpa ada seorang Zhee lagi. Toh, masih ada mama dan teman-teman yang sangat baik padaku. Di depan gerbang sekolah tampak ceorang laki-laki mengenakan jaket merah. Siapa lagi kalu bukan Sandi. Tapi aku menjauhinya denagn bergabung bersama beberapa temenku. Hingga akhirnya aku sampai di kelas, dan ternya Sandi sudah berada di belakangku.
“ Mi, maafin aku. Aku tahu aku salah banget sama kamu, tapi aku gak tahu harus ngejelasinnya gimana sama kamu. Tiap kali aku mau bilang kalau Zhee gak akan datang kamu selalu nayain kabar dia dulu, nayain ka….”
“Udahlah San, aku dah ngelupain semuanya termasuk Zhee!”Jawabku sambil meletakkan tasku pada sebuah bangku.
“Tapi kamu maafin aku kan Mi?”
Aku berlalu dari hadapan Sandi. Aku tak peduli lagi padanya. Seketika itu juga aku keluar kelas untuk menghindarinya.
****
Sekarang semuanya menjadi lebih baik. Setelah aku melupakan Zhee dan juga tak memperdulikan Sandi, aku merasa labih bahagia. Aku tak lagi menunggu seseorang. Aku bebas. Malam ini aku dan mama sedang menonton TV, sekedar melepas lelah dan menemani mama menghabiskan malam. Tiba-tiba Handphoneku berdering. 1 message received, begitu yang terpampang di layar handphoneku. Kutekan Ok, dan kubaca sebuah pesan yang ternyata dari Sandi
Hi mi. Q tw kmu dh bnci bgt ma Aq.
Tpi sekli lGi mi, plz maafn aq.
O iy, smestr dpn aq sklh di Australi, ayahQ di mutasi.
Aku letakan Handphone ku di sofa. Aku benar-benar sudah tak peduli padanya. Malam ini aku tak dapat tidur. Pikiranku melayang pada Sandi. Benarkah dia akan pergi ke Australia? Sandi sahabat baikku sejak SMP akan pergi jauh. Dia selalu memenuhi apapun keinginanku. Yang aku tak mengerti darinya mengapa ia tega berbohong padaku.
****
“ Mi, dah tau belum, Sandi bakalan pindah ke Australi lho!” kata seorang temanku
“Tau”. Jawabku acuh sambil terus membaca buku.
“Kok kamu kayaknya ga peduli banget sih Mi, Sandi kan sahabat kamu!” Kata syifa tak jera bertanya padaku.
“Ya dah sana kamu aja yang peduliin dia!!” Sambil terus berpura-pura membaca buku aku tak memperdulikan Syifa lagi. Walau sebenarnya pikiranku melayang ke sosok yang dibicarakannya itu.

Sebuah kalender bergambar doraemon kuamati lekat-lekat. Kucoret lagi salah satu angkanya. Hari dimana semester satu akan selasai. Ini adalah hari terkhir, dan itu berarti Sandi akan meninggalkan Indonesia, meninggalkan aku. Sebenarnya aku sangat sedih dia akan pergi jauh, tapi aku sama sekali tak dapat mencegahnya, apa lagi hubungan aku dan dia sedak tak baik seperti ini.
“O iya, buku Biologi Sandi kan masih sama aku!” Kataku sendiri, tiba-tibe teringat pada bukunya yang telah lama kupinjam. Kujelajahi rak bukuku. Aku lupa dimana meletakkan buku itu. Hinga akhirnya ditumpukan paling bawah aku melihat buku itu dan tertera nama Sandi Aryan Reza di depannya.
“Aku harus mengembalikannya besok pagi” Kataku seolah meyakinkan diri. Sebenarnya aku tak ingin bertemu dengannya, tapi bagaimna lagi bukunya yang kupinam harus kukembalikan.
Sedikit membanting buku itu di tempat tidur, aku bernafas lega dapat menemukan buku itu. Tiba-tiba sebuah amplop warna biru jatuh dari sela halaman buku. Awalnya aku ragu untuk membukanya, tapi ternyata didepan amplop itu tertulis namaku. Jadi kubaca saja surat yang ada di dalamnya.


Dear Mia
Hallo Mi, aku ingin jujur tentang suatu hal ke kamu. Tapi aku berharap setelah kamu membaca surat ini, kamu tetap mau jadi teman baikku ya??? Sebenarnya apa yang akan aku katakan di surat ini nanti, sudah ingin aku katakan dari dulu. Tapi tiap aku mau ngomomng ke kamu aku gak bisa ngucapin, aku takut ngebuat hati kamu sakit.
Mi, sebenarnya Zhee pernah telepon aku sekitar bulan Desember tahun lalu dia bilang kalau dia sudah punya cewek lain di Jakarat. Dia berpesan supaya aku menyampaikannya ke kamu.Zhee juga berharap kamu bisa melupakan dia secepatnya. Kamu adalah cewek terbaik yang pernah dia kenal, begitu Mi kata-katanya yang terakhir.
Aku tahu semua ini salahku, aku gak bilang semua ini sama kamu.Aku sudah berusaha Mi buat bilang, tapi aku tahu kamu sayang banget sama Zhee, aku gak tega ngelihat kamu menangis. Kamu inget gak waktu suatu hari kita makan bareng di kantin, saat itu aku mau bilang Mi, tapi ternyata kamu justru lebih dahulun bilang gini Mi :” Kamu tahu gak San, Zhee itu satu-satunya cowok yang paling aku sayang. Aku gak tahu apa jadinya kalau aku kehilangan dia”. Inget kan Mie??
Beruntung banget ya Zhee, disang sama orang sebaik kamu. Semua puisi, salam, atau telepon yang aku bilang dari Zhee, semuanya bohong. Mungkin kamu sudah gak mau jadi sahabatku lagi setelah membaca surat ini. Dan kamu emang gak salah kalau kamu sudah gak mau jadi sahabatku lagi, mana ada sie ornag yang mau jadi sahabatnya seorang pembohong seperti aku ini….
Maaf Mi atas semua kebohonganku ini. Dan satu lagi, pembohong ini talah lancang berani mencintaimu secara diam-diam. Bukan rasa sayang sebagai sahabat, tapi rasa sayang seorang cowok ke cewek. Sekali lagi aku minta maaf.
Pembohong yang mencintaimu
Sandi
Sepertinya aku sudah tak dapat berdiri Menopang tubuhku setelah nembaca surat itu. Seluruh tubuhku lemas mengetahui semuanya. Selama bertahun-tahun ternyata aku telah menunggu dan menyayangi orang yang sama sekakli sudah tak peduli padaku. Aku juga bodoh, tak menyadari orang yang kuanggap pembohong, justru sayang padaku. Sandi, ah sahabat baikku itu ternyata jujur atau setidaknya sudah berusaha untuk jujur, tapi sayangnya surat ini terselip dalam buku dan tak pernah aku baca.
“Sekarang 9 malam, aku harus ke rumah Sandi, belum terlambat”.Aku berkata pada dirikiu sendiri. Segera aku bersiap, surat yang tadi kubaca kulipat lagi, kemudian kuselipkan dalam buku Biologinya Sandi yang kupinjam.
“ Ma, Mia ke rumah Sandi sebentar”teriakku sambil menutup pintu. Aku memilih jalan kaki karena rumah Sandi tak begitu jauh dari rumahku. Sedikit berlari menembus gerimis yang mulai datang, akhirnya aku tiba juga dirumah bercat biru itu. Segera kutekan bel di sudut halaman depan. Seraut wajah yang telah kukenal kemudian muncul dari balik pintu
“ Malam Tante, Sandinya ada?”tanyaku pada mamanya Sandi.
“Oh Mia, iya ada, bentarnya tante panggil Sandi sebentar” kemudian wanita yang telah berkepala empat itu masuk dalam rumah. Sekitar tiga menit aku menunggu Sandi. Aku persiapkan semua yang akan aku katakan padanya, termasuk permintaan maafku karena telah menuduhnya. Setelah menunggu, akhirnya sosok itu muncul juga.
“ Hai Mi, ada apa, tumben main kesini malam-malam?” suaranya terdengar tak seperti biasanya. Mungkin karena aku dan dia lebih dari seminggu tak saling bicara.
“ Sandi, aku kesini mau minta maaf, aku..,eh.,ee aku” Entah kenpa semua kata-kata yang tadi telah aku persipkan musnah. Semua kata-kata itu tercekat ditenggorokan. Ah, betapa bodohnya aku dihadapn Sandi.
“Kamu kenapa Mi?” Tanya Sandi kemudian.
“ San aku…” Aku masih berusaha untuk berbicara padanya, tetapi ternyat air mataku justru yang berkata. Aku menangis dihadapannya. Kami saling diam, kuserahkan surat itu padnya.
“ Oh, surat ini, maaf ya waktu itu aku…” suara Sandi terdengar jelas di telingaku.
“Aku yang harusnya minta maaf San. Kalau saja surat ini kubaca dari dulu pasti semuanya gak bakalan begini, aku pasti gak akan nunggu Zhee terus-terusan”. Dengan seenggukan, aku berusaha untuk dapat berbicara padanya.
“ Sudahlah Mi gak papa, mungkin Tuhan telah mengatur semua ini” ucap Sandi seraya menyandarkan kepalaku pada pundaknya.
“ Kamu kapan berangkan ke Australia, apa gak bisa dipending san?” tanyku
“Gak bisa Mi, aku harus berangkat besok pagi”.jawabnya lirih ditelingaku.
Tangisku masih tak berhenti dalam pelukannya…
****
“Pagi Ma, masak apa nih?”
“Masak ikan kesukaan kamu nih. Wah, tumben anak mama pagi-pagi begini sudah cantik, mau kemana sih?”Wanita ynag paling kusayang itu bertanya seraya merapikan meja makan.
“Hari ini Mia mau mengantar Sandi ke bandara Ma, ayahnya di mutasi ke Australia jadi Sandi dan keluarganya juga ikut”. Semoga saja mama tak menyadari suaraku yang sedikit parau menahan kesedihan.
Bandara sepertinya saat ini menjadi tempat yang paling kubenci, karena disini aku dan Sandi akan berpisah beberapa jam lagi. Sosok laki-laki yang telah menjadi sahabat sejak SMP dulu, tengah mengurus pasport di sudut ruangan sana. Kuingat semua yang pernah kami alami selama lebih dari tiga tahun. Terngiang semua candaan dan lelucon dari Sandi hingga membuatku tertawa lepas sangat bahgia.
“Hei, kok melamun sih!” orang yang tengah kupikirkan ternyata sudah berada di sampingku
“ Ah, gak kok” jawabku singkat. Aku berusah tampil ceria di hari perpisahan aku dan dia, walau hatiku sebenanya menangis.
“ Mi aku mau ngomong sesuatu, tapi kamu jangan marah ya?” Sandi mendekat dan meraih tanganku
“ iya, ngomong aja. Aku gak akan marah” jawabku
“Kamu dah baca suratku kemarin kan? Di surat itu aku juga bilang kalau aku sayang kamu. Sampai saat ini, perasaan itu gak pernah hilang. Aku pengin kamu mau jadi orang yang paling aku sayang, aku pingin jadi orang yang paling perhatian sama kamu, aku juga berharap yang sebaliknya denagn kamu. Aku ingin kamu jadi cewek yang paling aku cintai. Kamu mau kan Mi?”
Aku hanya diam. Yang disebelahku masih terus memandangku. Sahabatku sendiri ternyata mencintaiku.
“Lho Sandi kamu masih disini, penerbangan lima menit lagi lho”.Mamany Sandi tiba-tiba datang.
“Iya Ma, sebentar ya”. Wanita itu kemudian meninggalkan kami, seolah mengerti apa yang kami rasakan.
“Emi aku sayang kamu”. Sandi masih menunggu sepatah kat akeluar dari bibirku.
Kugigit bibir bawahku. Berharap sendu dari suara menahan kesediahn akan berkuarng. Aku telah berjanji tak akan menangis pada hari perpisahn kami ini.
“ Sandi, aku juga sayang kamu. Terbanglah ke Australia dan bawa rasa sayangmu ke sana. Jagalah raca cintamu disana. Dan aku akan menunggumu pulang membawa oleh-oleh kesetiaan untukku. Buktikanlah rasa cintamu, dan saat itu aku akan menjadi milikmu”. Jawabku, seolah semua kata-kat abegitu lancar terlontar. Aku masih menggigit bibir bawahku. Wanita cengeng seperti aku harus dapat tampil ceria di hari terakhir perjumpaan dengan orang yang kusayang, begitu pikirku.
“Baiklah kalau itu maumu Mi. Aku tak akan mengecewakanmu. Aku akan pulang membawa oleh-oleh kesetiaan seperti yang kamu minta, karena aku sayang kamu”. Ucap Sandi.
“Iya aku percaya”. Tangannya menggenggam erat tangnku. Aku berharap beberap tahu lagi tangan itu akan menggenggam tanganku lagi.
Pesawt itu akhirnya meninggalkan daratan. Membawa orang yang kusayang di dalamnya pergi menjauh dariku. Sekarang aku harus melewati hari-hari cerah tanpa Sandi, dan terus menungggunya kembali seperti yang pernah aku lakukan pada Zhee.s
Cinta adalah menikahi semua kekurangannya
dan semua kelebihannya hanyalah bonus!!!
Kebumen,29 Dec 08’-01 Jan 09’ c 08-01 jan 09kkkkk

catatan ketika tak ada kerjaan

Kacamata

Di luar kelas hujan masih mengguyur bumi, tapi apa yang Wulan rasakan ternyata berbanding 180 derajat. Soal-soal ulangan di papan tulis membuat semua peluh membanjiri tubuh mungilnya. Ia tak dapat melihat apa yamg ada di sana.
“Assalamualaikum”suara salam gadis itu membahana dengan semangat yang di paksakan.
“Wa’alaikumsalam, sudah pulang nduk! Shalat dulu sana, terus jangan lupa makan. Habis makan tolong anterin keripik ke rumahnya Mbok Minah ya”
“Iya Bu”jawab Wulan dengan senyuman yang oleh ibunya terlihat aneh karena sedikit dipaksakan.
Selesai shalat dan makan gadis berlesung pipit itu melaksanakan apa yang dikomandokan ibunya. Jarak 3 kilometer ditempuhnya denan sepeda reyot yang telah berubah warnanya dari hitam menjadi keabu-abuan. Langit di atas sana sepertinya hampir memuntahkan bebannya. Dikayuhnya sepeda itu lebih cepat. Sebagai anak yang lahir dari keluarga yang dapat dikatakan serba kekurangan. Betapa pahamnya ia akan berharganya nilai rupiah keripik yang ada dalam tas plastik hitam yang sedang dibawanya itu walaupun hanya dapat ditukarkan dengan lima ratus rupiah per buah. Kekhawatiran akan segera turunnya hujan ternyata juga ditemanai akan kekhawatiran terhadap dua indra penglihatannya yang tidak lagi berfungsi seperti biasa.
“Prang!!!” Ternyata suara itu bukan jatuh dari tangan seorang anak kecil tapi dari gadis berumur tujuh belas tahun. Dan piring itu bukan menjadi korban pertama kegalauannya. Masih terbayang siang hari tadi di sekolah saat Pak Cahyo mengumumkan hasil ulangan kimia. Sepertinya bumi akan menindihnya ketika ia tahu telah mendapat nilai terburuk di kelasnya. Teman-temannya pun tak kalah terkejut mengetahui bintang kelas mereka itu mendapat nilai 45 dalam ulangan.
Didengarnya semua wejangan-wejangan dari ibunya. Dihentikannya pekerjaan mencuci piring itu, dan ia menuju sebuah ruangan berukuran 3x4 meter. Dibukanya salah satu buku dan ia mencoba mengais-ngais semangat sedapatnya. Tapi keganjilan itu kembali datang, semua huruf-huruf di dalamnya kabur.
“Mbak Wulan, soal yang ini caranya gimana mbak?”Amy, adiknya datang dengan dahi yang sedikit terkerut.
“Yang mana Mi?”ternyata Wulan belum menyadari perubahan pada dirinya. Benarlah beberapa detik kemudian ia tersadar akan matanya yang tidak lagi dapat berfungsi normal.
“Aduh, tolong bacakan soalnya saja ya Mi!” Dibukanya dua mata bulat itu selebar-lebarnya berharap keajaiban datang agar tulisan di depannya itu dapat terbaca. Dan kegalauan itu ditutupnya rapat-rapat agar adik dan keluarganya tidak tahu apa yang terjadi padanya.
Pulang. Ya, hanya itu yang diinginkan Wulan sekarang. Semua mata pelajaran benar-benar tidak dapat masuk ke otak yang menurut teman-temannya brilian. Betapa inginnya ia menyalahkan matanya yang tidak lagi dapat berkompromi. Semua penglihatannya samar. Rita, gadis yang sekarang duduk disampingnya itulah yang pertama mengetahui perubahan pada teman dekatnya.
Hari berganti dengan kelabu. Ditatapnya mata jernih yang telah berubah lewat cermin. Ia pandang terus semakin dalam. “Apa yang terjadi denagn mataku?”.Ucapnya lirih diiringi muara air mata yang hangat meleleh.
“Kreeek!”.Deritan pintu di kamarnya mengisyaratkan ada yang memasukinya. Segera ia membalikan badan membelakangi pintu dan berpura-pura merapikan buku dari tasnya. Diuspanya air mata dengan lengan tangan kanannya.
“Mbak Wulan disuruh makan sama Bapak” Ami lah pemilik suara nyaring itu.
“ Iya Mi, sebentar lagi mbak nyusul” bergegaslah ia mdenghapus air mata dan kekhawatirannya. Dikembangkannya sebuah senyum percobaan di depan cermin sebelum meninggalkan kamar.

Suatu siang saat istirahat tiba.
“ Kamu kenapa sih Lan? Sudah dua kali ini ditegur Pak Cahyo”. Seorang temannya bertanya dengan kekhawatiran.
“ Aku juga tidak tahu Rit, aku sendiri juga bingung”. Sekenanya yang ditanya menjawab.
“Kita berteman sudah lama Lan, nggak ada salahnya kita berbagi kan?” Masih dengan kekhawatiran seorang teman baiknya itu bertanya.
“Yah, kamu benar”. Wulan ternyata tidak ingin menanggapi pertanyaan Rita
“Jadi….?”
“Jadi apanya?”
“ Ya jadi kamu kenapa?”
Bel masuk berbunyi, memaksa mereka mengakhiri pembicaraan itu, dan ini sangat menguntungakn bagi Wulan.
“Entah lah Rit. Maaf aku belum bisa cerita sekarang”. Sedikit rasa kecewa pada temannya itu di kubur saja dalam-dalam berusah mngerti bahwa Wulan sedang memiliki masalah yang belum boleh di ketahuinya.
Seorang laki-laki paruh baya memasuki kelas yang berada di ujung lapanagn SMAN 42 Semarang. Postur tubuh yang lumayan besar dan kumis yang tidak dapat dikatakan tipis sebagai ciri utamanya itu adalah seorang guru matematika. Setelah mejawab salam dari anak-anak didiknya itu melangkahlah ia ke depan kelas.
“ Anak-anak, beberapa bulan lagi akan diadakan lomba matematika karena itu sekolah telah menunjuk beberapa perwakilan untuk mengikuti seleksi yang nantinya siapaun yang palng unggul akan mewakili sekolah”Pak Wiratman berhenti beberapa detik untuk menarik nafas.
“Wulan!” guru itu meneruskan ucapannya
“Kamu salah satunya” Lanjutnya. Seluruh kelas bergemuruh dan serentak bertepuk tangan tanpa komando. Sedangkan sosok yang tengah menjadi pusat perhatian itu sedikit terkejut dan merasa senang pada saat itu juga. Tapi seketika suara tepuk tangan teman-temannya itu berbalik menjadi neraka.
“Mataku… bagaimana aku dapat mengerjakan soal denagn kondisi mataku sekarang ini? Bagaiman ini? Aku hanya akan membuat teman-teman ku kecewa…”. Semua pertanyaan dan ketakutannya bercampur. Ditariknya ujung kanan dan kiri mulutnya dan terus ia perlihatkan bahagia di depan tennya, bahagia penuh kegetiran.
Dijatuhkannya tubuh dan semua kelelahan di atas tempat tidur. Ingin rasanya menjerit melepas semua ketakutan yang terjadi pada matanya. Berfikirlah ia seandainya saat ini matanya normal tentu ia akan sangAt gembira dengan kesempatan yang telah didapatkannya itu. Bendungan dalam kelopak matanya jebol seiring dengan mengalirnya air mata.
Embun masih betah bertengger di dedaunan depan rumahnya. Burung-burung ternyata tak menyukai hawa dingin seperti ini hingga tak terdenar suara merdu darinya. Membuka mata dengan senyum ternyata sudah tak lagi menjadi kebiasaan Wulan. Ayahnya sedang bersiap-siap menyipkan perkakas di bengkel sepeda milik tetangganya, disanalah laki-laki itu mencari nafkah untuk keluaraganya.Sedangkan ibu dan adiknya sedang mengepulkan asap di dapur.
Siang itu, di sekolah.
“Kenapa sih kamu nggak mau cerita Lan?”
“Cerita apa?”
“Ini….!” Selembar kertas putih dan tampak lusuh diserahkan pada Wulan. Sedangkan yang empunya hanya diam saja karena tak tahu harus berkata apa. Kertas itu sehari yang lalu ternyata menjadi pelampisan akan kekhawatiran pada matanya. Wulan lupa untuk membuang kertas itu yang ternyata masih berada di laci meja tempat duduk mereka.
“Yah.., maafin aku, aku nggak mau manjadi beban orang lain”
Pulang sekolah Rita langsung menggandeng Wulan. Dikerahkannya tenaga untuk memaksa Wulan mengikutinya. Setibanya di depan sebuah tempat yang mirip toko mereka berhenti. Tapi ternyata itu bukanlah sebuah toko, diatasnya tertulis “sight center”, sebuah tempat pemeriksaan mata.
Masih terngiang kejadian sejam yang lalu. Astigmatisma. Yah, itulah yang dikatan petugas “sight center”. Masih teringat bagaimana petugas itu mengatakan untuk segera berobat. Tak tahu lagi bagaimana ia harus menyampaikannya pada ibu dan keluaraganya. Tak mungukin. Kalaupun ia bercerita kepada mereka itu hanya akan menjadi beban .Kacamata! Yah itu adalah salah satu alternatifnya. Kepesimisan itu kembali datang. Dari mana ia berharap memiliki sebuah kacamata, sedangkan hasil bekeraja ayah dan menjual keripik hanya cukup untuk makan.
Seleksi perlombaan diadakan dua minggu lagi. Tapi Wulan benar-benar tak ingin mengikutinya. Sepulang sekolah nanti ia berencana untuk menyampaikan pengunduran dirinya pada Pak Wiratman.
“Tapi kenapa Wulan, kesempatan seperti ini sanagat diinginkan teman-temanmu yang lain”.Suara bapak berkumis itu meninggi.
“Maaf Pak, saya benar-benar tidak bisa Pak”. Menudukalah Wulan menahan kesediahan ini.
“Bapak sebenarnya yakin akan kemampuanmu, sangat disayangkan kamu bersikap seperti ini”
“Pak, apa boleh saya menyampaikan usul Pak?”
“Usul apa?”
“Rita”.
“Rita?” terheran-heranlah laki-laki itu akan nama yang disebutkan Wulan.
“Iya, Rita. Saya yakin Rita dapat membawa nama baik sekolah ini Pak”.
“Wulan…., untuk perlombaan, sekolah tidak mungkin asal dalam memilih murid sebagai wakilnya. Dan Rita, maaf Bapak masih meragukannya.”
“Tapi Pak, saya yakin Rita bisa Pak. Memang selama ini Rita belum dapat memperlihatkan prestasinya, tapi pernyalah Pak, Ia sebenarnya memiliki kemampuan”
“Baiklah Bapak beri kesempatan Dia untuk menunjukan prestasinya pada ulangan pekan depan, tapi kalaupun nanti saat seleksi dia tidak lolos, Bapak tidak dapat berbuat banyak”
“Iya Pak, tentu”.Keluarlah Wulan dari ruang guru. Dan tanpa disangka dari kejauhan Rita tengah menunggunya.
“Aku mengundurkan diri, aku nggak ikut lomba”.Tersimpan sedikit kesedihan di hatinya saat mengucapkan.
“Apa! Ya ampun Wulan, kamu beruntung banget bisa ikut seleksi, harusnya kamu senang, apa lagi kalau kamu bisa menang nanti kamu bisa dapat beasiswa, dan kamu bisa membeli kacamata
“Ya memang benar, aku senang, aku bangga, aku juga ingin memiliki kacamata tapi ingat Rit penglihatanku kabur, benar-benar sulit untuk sekedar membaca soal.”
Argumen itu berakhir dengan sebuah tangisan. Akhirnya Wulanpun menyampaikan apa yang ia usulkan pada Pak Wiratman. Betapa terkejutnya Rita. Tak mungkin ia mengikuti seleksi itu, kalaupun mengikuti sudah tentu ia tak akan lolos, begitu pikirnya.
“Tolonglah Rit, sekali ini saja, tak ada salahnya kan kita berusaha dahulu”. Tanpa lelah Wulan meyakinkan Rita. Perdebatan itupun berkhir dengan anggukan Rita penuh keraguan.
Hari-hari ini sangat berbeda bagi Rita. Sehari-harinya hanya ia lewatkan untuk belajar, hanya demi sahabatnya, Wulan. Tak sedikit dari teman-teman yang mengolok-olok dirinya saat mereka tahu ia mengikuti seleksi lomba matematika. Tapi Wulan selalu memberikan semangat dan dukungan hingga Rita bertekad untuk dapat memenangkan lomba itu. Bahkan, setiap malam ia datang ke rumah Wulan untuk meminta untuk mengajarinya. Wulanpun sangat senang melihat semangat sahabatnnya itu. Hasil dari kerja kerasnya ternyata memuaskan. Rita berhasil lolos dari seleksi dan menjadi salah seorang dari dua siswa yang mewakili sekolah mengikuti lomba. Kacamata. Harapan memiliki benda itu semakin dekat.
Rabu, satu bulan kemudian. Hari yang dinanti dan diharapkan akhirnya datang. Waktu sudah menunjukan pukul 07.30 WIB. Bebarapa guru dan teman Rita menunggunya di depan sekolah dengan cemas. Mengapa di hari penting ini Rita belum juga datang, seribu pertanyaan memenuhi otak Wulan. Diliriknya jam dinding berkali-kali. Khawatir ia bila terjadi sesuatu dan tentu saja khawatir karena peserta lomba harus datang sebelum pukul 08.00 WIB.
“Kita sudah menunggu lebih dari sejam Wulan!”
“Iya Pak, sebentar lagi pasti Rita datang”. Harapan itu masih terus mengalir.
Dari kejauhan tampak sebuah becak membawa sesosok gadis. Dialah Rita. Tersenyum Wulan melihatnya. Tapi tiba-tiba senyum itu berubah menjadi keharuan. Kaki kanan Rita dibalut, ia mengalami kecelakaan sebelum berangkat ke sekolah dan harus dibawa ke rumah sakit terlebih dahulu. Dipeluknya sahabat terbaiknya itu. Betapa salutnya ia akan semangat dan pengorbanan dari sahabatnya. Ucapan terima kasih dan doa pun di ucapakn dengan sesenggukan. Tak lagi peduli ia akan kemenagan ataupun kekalahn nantinya.
“Semua untuk kamu Wulan, untuk kacamata yang kau impikan”.Ujarnya sesaat sebelum mobil Pak Wiratman membawanya ke tempat perlombaan,membawa sesosok sahabat sejati,beribu pengorbanan dengan berjuta impian.